Wisata Sastra Sumbar: Buya Hamka dan Taufiq Ismail

Libur panjang kali ini, kami tidak berniat untuk pergi jauh dari kompleks. Setelah puas melancong (acara utamanya dinas kantor sih. Hehe) di kota Medan, kami berniat untuk beristirahat saja di rumah. Apalagi kondisi cuaca akhir-akhir ini cenderung hujan disertai petir.

Tapi yang namanya rencana, tetaplah bisa direvisi. Begitu mengetahui tetangga sekitar rumah banyak yang pergi, istri jadi ingin pergi keluar rumah juga. Ada tetangga yang sedang in-reyen paspor barunya ke Singapore. Ada juga tetangga akrab kami yang pergi ke Palembang. Istri inginnya sih yang dekat-dekat saja, tidak harus jauh dan menginap. Akhirnya saya putuskan untuk menuju Danau Maninjau saja, karena dari dulu sejak istri berada di sini, gagal terus pergi kesana.

Semalam sebelum berangkat, saya sempat googling-googling dahulu mengenai apa saja yang ada di Danau Maninjau. Walaupun saya pernah kesana, tetapi saya sudah agak lupa dan tujuan saya dulu bukan melancong melainkan ada tugas dinas di PLTA Maninjau. Ada beberapa hotel yang terkenal disana, yaitu Nuansa Maninjau dan Puncak Lawang. Harga yang tertera di website di luar budget dan semakin memantapkan diri saya untuk tidak menginap. 

Setelah mampir di beberapa blog, akhirnya saya menemukan artikel tentang Museum Buya HAMKA. Saya jadi ingat, Maninjau memang tempat kelahiran beberapa tokoh terkenal. Buya HAMKA merupakan tokoh Islam sekaligus sastrawan yang dikenal tak hanya di Indonesia, tapi di Malaysia, Singapura dan dunia. Kemudian ada Rangkayo Rasuna Said yang namanya jadi nama jalan besar di kota Jakarta. Lalu yang paling segar di ingatan kita, yaitu kampung dari Alif Fikri di Novel Negeri 5 Menara yang terkenal itu. Saya jadi tertarik untuk mengunjungi museum tersebut. Saya juga tiba-tiba ingin mengunjungi Rumah Puisi Taufiq Ismail yang sejalan dengan jalan menuju Danau Maninjau. Akhirnya dengan mantap saya putuskan bahwa touring kali ini bertema Wisata Sastra! Sip!

Pagi itu jam 9 pagi kami bertolak dari rumah dengan bekal berupa dua set mantel dan uang secukupnya. Mantel menjadi barang yang sangat penting di kala cuaca seperti ini. Apalagi pagi itu suasana mendung dan Google Now menginformasikan bahwa di Maninjau di prediksi hujan lebat disertai petir. Saya dan istri memilih untuk nekat saja demi rasa penasaran istri tentang Danau Maninjau dapat terpenuhi.
Hari itu jalan sedikit ramai. Banyak motor lalu lalang. Kami memilih rute Talawi - Batusangkar - Batipuh - Padangpanjang - Padang Luar - Danau Maninjau karena ini adalah rute terdekat. Bisa saja lewat Baso lalu Bukittinggi tapi jaraknya lebih jauh. Alhamdulillah, di Batusangkar cuaca cerah. Langit biru bersih diselimuti sedikit awan putih. Cuaca tersebut terjaga hingga kami mencapai Danau Maninjau.

Sesampainya di Simpang Padang Luar, kami berhenti sebentar di toko Sanjai. Istri saya membeli sebungkus kecil sanjai berbumbu kuning untuk dimakan di jalan dan di lokasi nantinya. Dari Padang Luar sampai ke Danau Maninjau, ruas jalan sedikit sempit. Jalan ada beberapa yang tidak rata dan didominasi kelok-kelok. Sebelum sampai Matur kami melewati jalan yang berada di antara dua tebing yang tinggi. Sungguh indah.

Setelah itu kami mencapai Matur. Di Matur kami menemukan sebuah tugu yang membentuk huruf A di seputaran lapangan. Saya belum sempat berhenti dan memotretnya, apalagi mengetahui makna tugu tersebut. Tak jauh dari situ, kami menjumpai sebuah trek yang terkenal ketika orang menyebut Danau Maninjau. Trek tersebut adalah Kelok 44 (disebut Kelok Ampek Ampek).

Kelok 44 Danau Maninjau


Sesuai dengan namanya, kelok ini berjumlah 44 (kalau menurut saya lebih). Kelok ini berupa trek menuruni gunung jika dilihat dari Matur. Bentuk kelok ini sungguh curam dan lengkung keloknya sebesar 180 derajat. Oleh karena itu kita harus berhati-hati ketika melewatinya. Disarankan kita menyalakan klakson kendaraan kita jika akan berbelok.

Di kelok ke berapa, kami sempat berhenti dan mengabadikan momen. Danau Maninjau terlihat cantik dari atas sini. Apalagi langit cerah sehingga awan-awan terlihat memantul di permukaan air danau. Kami jadi tidak sabar untuk segera turun ke bawah. Masih ada beberapa puluh kelok lagi yang harus kami lewati.


Danau Maninjau dipotret dari Kelok 44
Tak lama kemudian kami sampai juga di ujung terbawah kelok. Pemandangan indah yang alami dan juga kawanan monyet yang bertengger di pinggiran jalan melengkapi perjalanan kami. Ada simpang yang menyambut kami di depan. Jika saya ambil ke kanan, saya akan menuju PLTA Maninjau, sedangkan ke kiri saya akan menuju Museum Buya Hamka. Karena judul wisata kali ini adalah wisata sastra, kami memilih untuk berbelok kiri terlebih dahulu.

Museum Buya Hamka
Berbekal pengalaman dari beberapa blog saya menyusuri jalan dengan pelan sambil melihat-lihat dimana lokasi Museum tersebut. Saya sempat ragu juga karena selama mungkin 5 menit lebih saya tidak menemukan tempatnya. Akhirnya saya cek melalui Google Maps. Ternyata lokasinya masih beberapa ratus meter ke depan. Saya menemukan makam ayah Buya HAMKA di sebelah kanan jalan. Tetapi tidak menemukan Museum Buya HAMKA-nya. Saya melanjutkan perjalanan lagi dan akhirnya menemukan Museum tersebut. Museum tersebut berada di kiri jalan (bangunan menghadap ke danau).

Papan Penanda Museum Buya Hamka Maninjau

Ada papan penanda yang berada di seberang rumah. Kemudian ada tempat parkir yang cukup untuk sebuah bus di depan bangunan. Museum tersebut berada sekitar 4 meter di atas jalan sehingga ada tangga naik untuk bisa menuju ke museum. Nama resmi museum ini adalah Museum Rumah Kelahiran Buya HAMKA.

Museum Buya Hamka dipotret dari seberang jalan

Museum tersebut berupa Rumah Bagonjong seperti rumah adat minangkabau pada umumnya. Rumah tersebut terbuat dari papan-papan kayu. Halaman dan bangunan terlihat terawat. Kali ini museum tidak terlalu ramai. Ada satu keluarga yang sedang mengunjungi selain kami berdua.

Kenangan Hidup oleh Presiden Soekarno di Museum Buya HAMKA

Lukisan Buya HAMKA di Sebelah Meja Tamu Museum Buya HAMKA

Kami melepas alas kaki kami untuk masuk ke dalam museum. Kita langsung disambut meja tamu dan seorang pemandu yang duduk di seberang pintu. Saya sapa bapak tersebut kemudian saya isi buku tamu. Di samping meja tamu terdapat tumpukan buku-buku karya Buya HAMKA, seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, Tasawuf Modern dan lain sebagainya. 

Buku-Buku yang dijual di Museum Buya HAMKA


Rumah museum tersebut tidak terlalu luas. Kalau dalam pemetaan di pikiran saya mungkin rumah tersebut terbagi menjadi lima blok. Blok pertama yaitu yang berada di sebelah kiri ketika saya masuk. Di situ terdapat foto-foto dan beberapa barang peninggalan seperti tongkat Buya Hamka. 

Kursi Buya HAMKA di blok pertama

Lukisan Buya HAMKA di pojok ruangan blok pertama

Lukisan masa muda Buya HAMKA masa muda di blok pertama

Tongkat Buya HAMKA di blok pertama


Blok kedua yaitu di sebelah blok pertama terdapat Ruang Kamar Buya Hamka. Di kamar tersebut terdapat sebuah kasur dengan kelambu dan peralatan solat buat pengunjung.

Tempat Tidur Buya HAMKA di blok kedua


Blok ketiga berada di sebelah kanan pintu masuk. Terdapat satu set sofa dan album foto besar di mejanya. Terdapat poster besar Buya HAMKA di salah satu kursi sofa.

Sofa di blok kedua. Ada poster Buya HAMKA dibelakang saya

Album Foto Pengunjung di Museum Buya HAMKA


Blok keempat di sebelah sofa terdapat rak-rak berisi buku-buku dan piagam-piagam serta pigura-pigura di dindingnya. Di bagian ini kita bisa melihat banyak karya dan penghargaan yang beliau buat dan dapatkan.

Rak-Rak Buku Karya Buya HAMKA

Rak-rak Buku dan Karya Buya HAMKA

Rak-Rak Buku Karya Buya HAMKA

Rak-Rak Buku Karya Buya HAMKA

Lukisan Buya HAMKA


Blok terakhir berada di belakang meja tamu, yaitu kamar kecil. Saya sempat berwudhu dan solat dhuhur di sini bersama istri. Saya disarankan sama bapak pemandu tersebut untuk sholat sunnah di kamar Buya HAMKA, siapa tahu dapat segera diberi momongan. Karena menurut bapak tersebut, banyak juga orang kesini melakukan hal tersebut. Saya tidak tahu apakah itu benar atau tidak.

Setelah puas melihat-lihat dan mengagumi karya Buya HAMKA, saya kemudian pamit kepada bapak tersebut untuk melanjutkan petualangan kami. Tak lupa juga saya memborong beberapa buku Buya HAMKA. Karya ulama, yang bernama asli Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA adalah singkatan dari nama tersebut), yang saya beli adalah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah dan Merantau ke Deli.

Novel Di Bawah Lindungan Ka'bah Karya Buya HAMKA

Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Buya HAMKA

Novel Merantau ke Deli Karya Buya HAMKA


Harganya?
Untuk harganya, masing-masing 30 ribu, kecuali Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (50 ribu). Harga tersebut cukup untuk sebuah karya seorang Ulama dan Sastrawan besar negara kita.

Kami sempat memotret kembali di luar rumah. Tak lupa juga kami mengambil foto #followmeto. Hehe.

#followmeto Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka


Istri saya kemudian membeli oleh-oleh yang dijual oleh seorang kakek di sebuah gubuk di depan Museum. Waktu kami pulang datang rombongan guru-guru yang saya lupa asalnya, entah Riau atau Sumbar. Setelah membeli sehelai baju bertuliskan Maninjau, kami pun memacu motor untuk melanjutkan perjalanan kami selanjutnya.

Tujuan selanjutnya adalah PLTA Maninjau. Kami kembali menyusuri jalan semula, melawan arah ke arah utara. Dari simpang turunan Kelok 44 saya meneruskan jalan. Kami sempat makan sebentar di warung Barokah di kiri jalan untuk mengisi perut yang mulai terasa lapar di Padang Luar. Di sepanjang jalan banyak rumah-rumah warga dan homestay. Di belakang rumah-rumah warga tersebut banyak terdapat keramba-keramba untuk ternak ikan. Menurut kami, banyaknya keramba di sepanjang danau mengurangi keindahan Danau Maninjau jika dilihat langsung dari bawah sini. Apalagi kami mendengar berita bahwa usaha keramba ini tidak terkendali.
Narsis Sedikit di Warung Barokah Danau Maninjau

Karena cuaca yang agak mendung, kami akhirnya memutar untuk kembali ke atas. Kami sempat memotret sebentar di depan Masjid Raya Bayur dan di tepi pantai. Tak lupa juga kami mengambil foto #followmeto. Hehehe.

#followmeto Masjid Raya Bayur Danau Maninjau

#followmeto Danau Maninjau

Setelah melewati tanjakan Kelok 44 dan sampai di Matur, hujan tiba-tiba turun dengan derasnya. Kami pun segera menggunakan mantel yang tersimpan rapi di dalam jok. Kami tidak berteduh dulu karena dari kejauhan terlihat hujan tidak turun merata. Tapi ngeri juga menanjak ke Padang Luar dengan kondisi hujan sederas itu.

Sesampainya di Padang Luar kami segera berbelok ke arah selatan. Tujuan kami selanjutnya adalah Rumah Puisi yang terletak di daerah X Koto. Rumah Puisi terletak satu kawasan dengan Aie Angek Cottage dan Rumah Budaya Fadli Zon. Kalau dari Padang Luar, tempat tersebut terletak di sebelah kanan jalan dan untuk masuk ke sana ada jalan menanjak cukup curam.

Rumah Puisi Taufiq Ismail
Di pintu masuk kawasan tersebut ada pos satpam yang nanti akan menanyai kita tujuan kemana. Maklum ada 3 lokasi tujuan di kawasan ini. Kemudian kami memarkir kendaraan kami di depan pintu masuk Rumah Puisi.

Rumah Puisi Taufiq Ismail


Sore itu sepi tidak ada pengunjung. Hanya saya berdua dengan istri. Bangunan ini memiliki langit-langit yang tinggi. Ada dua tingkat ruangan di Rumah Puisi. Tingkat pertama terdapat ruangan luas yang diisi dengan x-banner bertuliskan quote-quote tokoh-tokoh terkenal. Terdapat juga kursi-kursi lipat tempat pengunjung rombongan atau anak sekolah untuk berdiskusi dan deklamasi.


Tempat untuk Berdiskusi di Rumah Puisi

Kumpulan X-Banner


Buku-Buku yang Dijual

Salah Satu X-Banner

Sastrawan yang Pernah Diundang di Rumah Puisi

Data Wajib Buku di Tiap Negara

Terdapat juga etalase tempat dijualnya buku-buku sastra yang terkenal. Didominasi buku-buku Balai Pustaka dan Horison.

Kemudian di tingkat kedua berdiri banyak rak-rak buku. Kemudian poster-poster di dinding atas, meja kerja, tempat duduk dan karpet serta bantal besar buat yang ingin membaca sambil lesehan. Istri saya langsung mengambil majalah dan tidur-tiduran di karpet untuk melepas penat naik motor. Di belakang rak-rak tersebut terdapat kamar dan ruang keluarga pribadi.
Sebuah Meja di Rumah Puisi Taufiq Ismail

Salah Satu Sudut di Rumah Puisi Taufiq Ismail

Rak-Rak Buku

Salah Satu Poster di Rumah Puisi Taufiq Ismail

Poster-Poster yang Dipajang di Tembok Atas Rumah Puisi Taufiq Ismail

Salah Satu Pigura Anugerah Rumah Puisi

Tempat Duduk di Samping Rak Buku

Tempat Lesehan

Buku-Buku di Samping Tempat Lesehan

Rak-Rak Buku


Setelah puas membaca dan beristirahat, akhirnya kami pamit untuk pulang. Saya tak melewatkan kesempatan untuk kembali membeli beberapa buku yang ada di situ. Saya kemudian menemui penjaga Rumah Puisi tersebut untuk meminta izin membeli beberapa karya yang dipajang di etalase. Kali ini saya membeli Buku Atheis karya Achdiat K. Miharja dan sebuah CD Puisi Pak Taufiq Ismail yang diiringi dengan alunan Biola Pak Idris Sardi.


Kami ngobrol banyak dengan penjaga tersebut. Pak Taufiq Ismail jarang berada di Rumah Puisi-nya ini. Beliau lebih banyak di Jakarta dan di luar negeri. Tamu juga banyak didominasi oleh siswa-siswa sekolah. Rumah Puisi juga menyediakan penginapan yang berada di depan Rumah Puisi. Tidak banyak kamar, kalau tidak salah ada enam kamar. Saya agak lupa. Harganya sekitar 600 ribuan. Di bawah Rumah Puisi, terdapat Rumah Budaya Fadli Zon dan Hotel Aie Angek Cottage. Untuk menginap di Aie Angek, tarifnya semalam sekitar 700 ribuan ke atas. Fasilitas yang didapatkan cukup banyak seperti kolam renang. Selain itu, keindahan alam yang tergambar di seberang kamar merupakan nilai tambah yang sangat tinggi.

Taman di Depan Rumah Puisi

Rumah Budaya Fadli Zon

Rumah Budaya Fadli Zon


Akhirnya kami bertolak dari Rumah Puisi menuju rumah. Hujan masih turun rintik-rintik sebenarnya. Tetapi karena hari mau gelap kami lebih baik menyegerakan untuk pulang. Kami sempat berhenti makan di Restoran Kubang di Batusangkar. Sesampainya di rumah kami cek jam di dinding. Pas sekali, 12 jam kami melakukan Wisata Sastra hari itu.

Popular Posts